LBH PAPUA

Blog masih dalam pengembangan

'Ko Su Lupa 6 Oktober 2006 Kapa e?'



"Saya dengan seorang Polisi pergi ke kota. Disana kami pergi membeli senjata. Hanya untuk menakut-nakuti masyarakat yang lari ke sungai Balim–Palim".

Tragedi 6 Oktober 2000 adalah satu dari sekian banyak peristiwa berdarah di kota sejuk–Wamena.

Tragedi mengenaskan ini terjadi setelah Gus Dur mengijinkan Theis H. Eluay dkk membangun posko Papua Merdeka dan persilahkan untuk menaikan Bendera Bintang Fajar di seluruh tanah Papua pada akhir 90-2000-an.

Peristiwa ini jatuh di tangan Megawati Soekarnoputri, anak Soekarno, presiden Indonesia I yang mengantikan Gus Dur pada waktu itu. Hampir 30-an orang kehilangan nyawa dan puluhan lainnya mengalami luka serius.

Tentu saja ini belum termasuk mereka yang kehilangan rumah, harta benda dan lainnya akibat perang dan kebakaran hebat di kota itu.

Ini adalah cerita pengalaman dari Jackson, bukan nama betulan. Pada saat itu ia berusia 12 tahun. Sekarang dia sudah mencapai usia 28 tahun. 

Dulu dia sendiri alami di masa kanak-kanak di jantung pulau Papua. Tapi sekarang di kembali cerita setelah dewasa di Jayapura. Bahkan setelah selesai kuliah, strata satu di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ).

Baginya, sulit melupakan tragedi ideologis itu. Walaupun peristiwa itu terjadi pada 21 tahun yang lalu. Sudah berlalu dan memakan waktu lama. 

Karena itu menjadi luka dalam batin yang sulit disembuhkan dengan obat, kata minta maaf, bahan makanan, ternak hewan atau binatang, juga jabatan dan uang tunai seberapa pun.

Saat itu dia kelas enam di SD Inpres Wesaput. Tinggal di Pakikulowa, nama asli dalam bahasa Hugula yang dinamakan oleh para moyang dari komunitas sub suku Mukoko/Hubikiak. 

Sekarang lebih tenar dengan nama Karu Jaya. Sebuah kompleks dimana rata-rata dimukim oleh orang-orang dari suku Lanny, Wamena bagian Barat yang rumahnya dengan beratap seng dan alang-alang. 

Daerah itu terletak di sebelah timur dari bandar udara Wamena. Jarak dari kali Palim ke pemukinan warga sekitar tidak terlalu jauh. Hanya memakan jarak kurang lebih 2-3 kilo meter saja. 

Dari pusat kota, atau Polres dan Kodim Jayawijaya, kalau menggunakan kendaraan bisa habiskan waktu hanya 30 menit. Tapi kalau jalan kaki bisa memakan waktu sedikit lama. Karena harus habiskan satu jam lebih.

Beberapa non Papua yang datang dari luar pun pada waktu itu tinggal disini. Mereka membuka usaha (kios) dan menetap disini. 

Mereka memanfaatkan peluang ekonomi yang tidak dibuka oleh masyarakat pribumi dan ambil ahli dengan bertahan  hidup sambil mencari keuntungan dari masyarakat lokal yang disitu.

Situasi mencekam. Tapi Jack dengan seorang Polisi yang  dekat dengannya masuk di dalam kota. Mereka kesana untuk membeli senjata di pasar di Nayak, dekat Mall Wamena sekarang. 

Tujuannya untuk menakut-nakuti masyarakat, termasuk anak-anak dan teman-temannya yang tidak pergi ke sekolah karena situasi kacau dan tidak memungkinkan, lari dan bersembunyi di tepian sungai Palim selama 2-5 hari disana.

Hampir sebagian besar kios, tokoh dan lainnya di seluruh kota dingin, yang hampir semuanya milik non Papua pada waktu itu tutup. Bahkan semua kompleks di dalam kota atau pinggir kota sunyi. 

Di kampung-kampung seperti Kurulu, Pugima, Hitigima dan lainnya tetap sunyi. Semua orang siap-siap untuk masuk ke kota. Serang warga non Papua dan lawan dengan aparat keamanan dan militer dengan senjata tradisional, parang, Kampak, pisau dlsb.

Sedangkan suasana di kota secara umum tidak kondusif. Semua orang pada di rumah. Sebagian mengungsi ke Polres dan Kodim Jayawijaya pada saat rentetan tembakan, asap membumbung tinggi dan situasi di kota Wamena makin tidak menentu.

Untung saja satu kios di depan kompleks DPU Wamena itu masih buka dan mereka belanja disitu.Setelahnya, mereka dua potong jalan. Ikut bandar udara Wamena yang masih sunyi dan tidak dioperasi lagi. Langsung tembus keluar ke Karu Jaya dibawa terik matahari.

Jack dengan om Polisinya menyusul masyarakat ke pinggir sungai Palim. Disana masyarakat bikin pondok darurat. Sebagian tidur di bawah pohon. Lain lagi bikin api dan masak hepuru dll di lokasi yang bebas.

Selama 3 hari bertahan disini dengan nyamuk, hujan, dingin, angin Kurima, dan ketakutan yang luar biasa. Dia senang ketika pada Sabtu, 7 Oktober 2000 pagi pesawat tempur dua masuk di Wamena.

Maklum karena anak kecil. Tapi setelah dewasa, dia mulai cerita bagaimana orang-orang tua pada waktu itu sangat gelisah dan ada yang mengarahkan untuk masuk ke sungai Palim.

Arahkan itu datang kalau pesawat militer milik Indonesia itu menjatuhkan bom di Lembah Baliem. Kecil besar, baik yang tahu berenang atau tidak, diminta untuk masuk di sungai yang dari permukaan air nampak tenang, tapi dalam dan sangat mematikan itu.

Sudah 21 tahun berlalu. Sekarang dia ada di kota Jayapura. Tapi menjelang 6 Oktober 2021, ia kembali mengingat kisah yang sulit dilupakan. Terutama senjata mainan yang dia beli dengan om Polisi dan pesawat tempur tadi.

"Bagaimana saya bisa lupa, 'aij'. Ini seperti lagu lama yang tertanam di hati, sulit dihapuskan dengan apapun. Sebab itu menyatu kekal dengan ingatan yang hanya akan hilang ketika saya mati", kata Jack ketika sa tanya "ko su lupa 6 Oktober 2006 itu kapa e?" pada Minggu, 2 Oktober 2021 di Doyo Baru, Sentani, Jayapura, Papua.

Ada sebuah pepata dari Hugula: "naticqche/nyathucqcha inyojwa ewejrek, watigij/nyaijtugu owaj/inyowaij licqma". Jika ingin tahu artinya belajar dan utamakan bahasa daerah (Hugula). Sesuaikan dengan bahasa asing/baru.


Sumber:  Soleman Itlay, Postingan Facebook

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu