LBH PAPUA

Blog masih dalam pengembangan

PON, dan Abusurdnya Budaya Papua

Oleh Ibiroma Wamla


Pembukaan PON telah berlalu beberapa jam yang lalu. Banyak yang bangga, bahagia dengan perayaan pon yang baru pertama diadakan di Papua tahun 2021, dari rencana PON ke 6 tahun 1968 akan diadakan di Papua.

Sebagai provinsi yang baru melaksanakan event nasional, maka jangan kaget kalau banyak hal yang diluar dugaan. Terlebih lagi, banyak masalah politik dan sosial yang belum terselesaikan di Papua. Ini menyebabkan ada provinsi yang tidak mengirim atlitnya untuk ikut dalam PON (Pekan Olehraga Nasional) di Papua.

Begitulah Papua, meskipun telah dikumandangkan oleh presiden agar Papua terbuka bagi media nasional dan internasional, namun dalam dunia nyata, Papua masih tertutup. Seperti juga Belanda pada tahun 1700-1800-an memperlakukan Papua.

PON 2001, muncul sebuah gerakan untuk melindungi burung Cenderawasih, menjadi hewan yang diindungi secara hukum. Kampanye dan pendekatan kepada semua elemen dilakukan, agar cenderawasih yang asli tidak digunakan dalam perhelatan nasional ini. Maka yang anda tonton hanyalah adalah bulu mitasi dari cenderawasih yang di jadikan aksesori pemanis tiap orang yang tampil dalam pembukaan PON.

Dalam adat Papua (bukan budaya), tidak semua orang  dapat memakai bulu cenderawasih dengan sembarangan, ada aturan adat yang mengatur penggunaan bulu cenderawasih tersebut, misalnya panglima perang (Jazirah Onim di Bomberai) dan pemimpin wilayah (dalam keodofoloan Sentai). Di luar Papua, bulu cenderawasih digunakan dalam penobatan panegran di Nepal, atau dalam prosesi ngaben (kremasi) di Bali.

Keindahan cenderawasih membuat semua aturan adat dan tatanannya kehilangan nilai dengan munculnya fashion yang menggunakan cenderawasih sebagai bahan pemanis. Eropa menjadi pemasok pemanis terbesar di tahun 1800-an dengan menerima jutaan bulu cenderawasih. 

Fashion aturan adat pun tak ada artinya, semua dibungkus dengan budaya, hingga mereka yang pernah menggunakan bulu cenderawasih mengatakan bahwa penggunaan bulu cenderawasih adalah bagian dari budaya, perilaku yang dinamis mengikuti perkembangan dunia.

Beruntunglah dalam perhelatan pembukaan PON, tidak nampak penggunaan bangkai cenderawasih yang asli, remah-remah cenderawasih yang tersisa dari jutaan bangkai yang telah dijual ke berbagai wilayah di muka bumi. Padahal di pasar aksesori Papua di Hamadi, pajangan bangkai cenderawaih yang dibuat sebagai cenderawasih semakin meningkat.

Cenderawasih selain menjadi ikon Papua, namun dapat juga menjadi media untuk menjelaskan kemajemukan Papua, seperti cenderawasih yang memiliki 39 geneologi keluarga. Laser bird of paradise yang banyak di gunakan, hanya salah satu dari 39 jenis keluarga cenderawasih.

Dalam perayaan PON 2021 di Papua, ada yang terlewatkan, ini terjadi pada penjelasan wilayah kebudayaan yang disebutkan sebagai wilayah adat.

Tampilan para penari kontemporer ini tidak diikuti dengan narasi penjelasan penampilan paa penarinya. Penonton dianggap memahami Papua, seingga tak ada penjelasannya. 

Moment ini (PON), menjadi media untuk menjelaskan kemajemukan kehidupan di Papua. Tiap tarian yang dikontemporerkan membawa sebuah nilai, sebuah pesan dari para pemilik cerita tarian yang di pertontonkan.

Misalnya, menara pengintai dalam suku Hubula berfungsi sebagai apa? Bukan hanya tangan yang lembai-lambai yang di shoot, atau munculnya penari dengan menggunakan aksesori pesta roh dari Asmat. Apakah makna dari aksesori pesta roh Asmat dalam PON? Sebuah ritual sakral yang hanya dipertontonkan dalam ritual di Asmat.

Dalam konteks pemaknaan nilai inilah, tontonan PON hanyalah sebuah seremoni yang absurd, tidak memiliki nilai, terjebak dalam harus ada perwakilan masyarakat, tanpa melihat nilai, filosofi dalam adat, kebudayaan suku di Papua.

Selamat berbahagia menjadi tuan rumah PON di Papua. Dalam absurdnya budaya yang di tonton. 

Posting Komentar

0 Komentar

Close Menu